SKYSHI MEDIA – Kontroversi seputar janji “sekolah gratis” yang digaungkan Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana kembali memunculkan fakta mengejutkan. SMA Siger, sekolah yang digadang-gadang menjadi solusi pendidikan gratis bagi warga pra sejahtera, ternyata tetap memungut biaya dari para murid melalui penjualan modul pelajaran. Setiap buku modul dihargai Rp 15 ribu, dan satu siswa yang menempuh 15 mata pelajaran harus merogoh kocek hingga Rp 225 ribu per tahun hanya untuk modul.
Beberapa siswa SMA Siger 2 mengaku bahwa meskipun sekolah mengklaim gratis, pembelian modul adalah kewajiban yang tetap dibebankan kepada mereka. “Iya gratis, tapi kalau modul kita beli 15 ribu. Tapi buat yang mau beli aja,” kata beberapa murid saat ditemui di sela jam istirahat, sambil menikmati makanan bergizi gratis yang disediakan sekolah. Ironisnya, meskipun menu makan gratis menjadi sorotan, sekolah ini sendiri belum terdaftar resmi di Dapodik, sistem pendataan pendidikan nasional.
Fakta ini semakin memicu pertanyaan terkait penggunaan dana APBD Kota Bandar Lampung untuk operasional sekolah. Menurut Chepi, Kabid Anggaran BKAD Kota Bandar Lampung, pengajuan anggaran untuk SMA Siger ternyata masih dalam tahap finalisasi di tingkat provinsi. “Setahu saya Disdik sudah mengajukan dan sekarang masih tahap finalisasi di provinsi,” ujarnya pada Jumat (September 2025).
Sementara itu, Kabid Dikdas Disdikbud Bandar Lampung menambahkan bahwa regulasi terkait anggaran sekolah ini masih menunggu finalisasi. “Saya bukan orang yang berkompeten sebenarnya menjawab terkait ini. Tapi setahu saya, anggarannya masih dalam finalisasi,” tambahnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan publik terkait transparansi penggunaan APBD yang seharusnya mendukung sekolah gratis namun kenyataannya sebagian biaya masih dibebankan pada murid.
Klaim Wali Kota Eva Dwiana melalui akun media sosialnya bahwa SMA Siger didirikan untuk memberikan pendidikan gratis bagi warga kurang mampu kini menghadapi sorotan tajam. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa biaya tambahan tetap harus ditanggung murid, sehingga menimbulkan kesenjangan antara janji politik dan implementasi nyata di sekolah.
Upaya konfirmasi lebih lanjut terhadap Plh Kepala SMA Siger 2, Udina – yang juga menjabat Kepala SMP Negeri 44 Bandar Lampung – belum berhasil. Meskipun terlihat mobil dinas di area parkir sekolah, yang bersangkutan dikabarkan tidak berada di tempat saat tim media mencoba melakukan wawancara.
Kontroversi ini menambah panjang daftar kebijakan pendidikan yang menuai kritik terhadap Wali Kota Eva Dwiana, yang kini semakin lekat dengan julukan “The Killer Policy.” Pengamat pendidikan dan masyarakat menilai bahwa kasus SMA Siger mencerminkan perlunya evaluasi lebih mendalam terkait program pendidikan gratis yang dijanjikan, termasuk mekanisme pendanaan dan akuntabilitas penggunaan APBD, agar janji kebijakan publik benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh warga.
Sejumlah pihak menyerukan agar pemerintah daerah segera memberikan kejelasan, termasuk transparansi terkait biaya operasional dan modul, serta memastikan bahwa hak-hak murid untuk memperoleh pendidikan gratis tidak terabaikan. Jika tidak, janji sekolah gratis yang selama ini menjadi daya tarik politik berisiko kehilangan kepercayaan publik.***