Diskusi Buku Puisi “Hari-Hari Bahagia”: Iswadi Pratama Bongkar Mitos Kebahagiaan dalam Karya Ari Pahala Hutabarat

banner 468x60

SKYSHI MEDIA – Suasana penuh intelektualitas dan spiritualitas menghiasi Diskusi Buku Sastra #1 yang digelar Lampung Literature bekerja sama dengan Kemdikbud RI di Aula C FKIP Universitas Lampung (Unila), Rabu (1/10/2025). Acara ini menghadirkan penyair nasional Ari Pahala Hutabarat dan pembicara Iswadi Pratama, sutradara teater dan pengamat sastra, dalam membedah karya puisi Ari berjudul Hari-Hari Bahagia (Lampung Literature, 2023).

Ari Pahala, alumni FKIP Unila Prodi Bahasa dan Seni, kembali ke kampusnya setelah 35 tahun. “Selama ini saya belum pernah ke FKIP sebagai penyair. Rupanya harus 35 tahun dulu baru kembali ke kampus,” ujarnya. Ari merupakan satu-satunya penyair Indonesia yang ‘dilahirkan’ dari FKIP Unila, sekaligus aktif sebagai sutradara teater di Komunitas Berkat Yakin (KoBER).

banner 336x280

Diskusi ini juga menghadirkan Dr. Munaris, M.Pd., Ketua Prodi Bahasa Lampung FKIP Unila, yang membuka diskusi dengan pertanyaan provokatif: “Memang Puisi Perlu Dibincangkan?” Munaris menekankan bahwa klimaks seorang penyair terletak pada puisinya, bukan pada kehidupan sehari-hari. “Jangan harap mencari romantisme pada diri penyair, temuilah pada puisi-puisinya. Diksi yang dipilih Ari, mulai dari ungu, biru, hijau, merah, hingga putih, memunculkan ekspresi artistik penuh sugesti,” paparnya. Menurut Munaris, diksi dalam puisi bukan sekadar alat komunikasi, tetapi medium estetik yang memperkuat citraan, menambah kedalaman makna, dan membangkitkan efek emosional bagi pembaca.

Sementara itu, Iswadi Pratama menyoroti dimensi spiritual dan paradoks dalam puisi-puisi Ari. Dalam makalahnya yang berjudul Surga yang Jatuh ke Tong Sampah, Iswadi membedah tiga puisi utama dari buku ini, menunjukkan bagaimana Ari mengawali perjalanan puisi dari ruang spiritual yang hening dan transenden. “Penderitaan adalah Jalan Rohani, tempat ego dilucuti, dan satu-satunya jalan adalah membuka diri pada Tuhan,” ujar Iswadi, meminjam pandangan filsuf dan mistikus Prancis, Simone Weil.

Iswadi menekankan nada puisi Ari yang lirih, kadang seperti doa, kadang seperti ratapan mistikus, menghadirkan ambivalensi yang lembut namun menohok. Puisi “aku akan pergi, katamu” misalnya, tak hanya berbicara tentang hubungan manusia, tetapi menyiratkan cinta yang lebih besar, menyentuh dimensi Ilahi. Dengan strategi naratifnya, Ari juga mampu menampilkan aspek sosial dan politik, seperti kritik terhadap korupsi atau humor hitam, sehingga puisinya bersifat universal namun tetap kontekstual.

Dalam perspektif Iswadi, Ari merobek mitos kebahagiaan yang biasa dipuja dalam tradisi romantik. Kebahagiaan dalam puisi Ari bukan cahaya suci, tetapi sederhana, absurd, bahkan dilempar ke tong sampah. “Justru di situlah ketajaman puisinya—menunjukkan bahwa hidup, betapapun grotesque dan sia-sianya, tetap pantas dijalani, meski sambil ditertawai,” jelasnya.

Diskusi ini dimoderatori Edi Siswanto, M.Pd., yang memastikan alur pembahasan tetap fokus dan mendalam. Acara berlangsung interaktif, menghadirkan tanya-jawab antara peserta dan narasumber, serta menekankan pentingnya kampus sebagai ruang terbuka bagi lahirnya sastrawan baru.

Diskusi Buku Puisi “Hari-Hari Bahagia” bukan hanya mengungkap makna estetis dan spiritual, tetapi juga menegaskan posisi puisi sebagai media refleksi, kritik sosial, dan ekspresi universal yang mampu mengguncang pemikiran pembaca.***

banner 336x280

News Feed